Banyak yang sudah tidak asing dengan Pasar Bong. Pasar Bong terletak di Surabaya, tepatnya di Jalan Bongkaran. Pasar ini menjadi salah satu pasar yang terkenal di Surabaya karena harga yang murah dan kualitas barang yang bagus. Selain menjadi tempat untuk belanja, ternyata Pasar Bong juga menjadi tempat wisata kuliner yang populer di kota tersebut.
Alih-alih menjadi tempat wisata kuliner, ternyata Pasar Bong memiliki sejarah panjang yang sangat menarik. Pasar Bong dulunya adalah kawasan pemakaman China, namun saat ini sudah tidak terlihat lagi adanya makan China di tempat tersebut melainkan pertokoan dan rumah warga. Sejarah Pasar Bong dimulai dengan datangnya warga etnis Tionghoa bermarga Han.
Sejarah marga Han dimulai dari Han Siong Kong (1673-1743) generasi 21, yang dikenal menjadi pendiri keluarga Han van Lasem, datang dari Guangzhou ke Lasem, Jawa Tengah sekitar tahun 1700 an. Han Siong Kong memiliki 5 anak yang lahir di Lasem dan berpencar setelah Han Siong Kong wafat pada tahun 1743. Han Tjoe Kong dan Han Kien Kong memilih menetap di Lasem, sedangkan tiga anak lainnya pindah ke Jawa Timur. Han Bwee Kong pergi ke Surabaya sedangkan Hang Hing Kong dan Han Tjien Kong tinggal di Besuki.
Dua putra Han Siong Kong yaitu Han Tjien Kong yang berganti nama menjadi Soero Pernollo dan Han Bwee Kong, Kapitein der Chinezen memiliki peran penting dalam pembangunan kekuasaan kolonial Belanda di Jawa Timur pada masa itu. Han Tjien Kong (1720-1776) pada waktu yang tidak diketahui berpindah ke agama Islam dan mengambil nama Jawa Soero Pernollo. Han Tjien Kong masuk ke dinas Hendrik Breton, dan pada masa kepemimpinan Breton, beliau menjadi tangan kanan Breton sebagai gezaghebber, atau pengawas dari tiga kapal dagang VOC dan kemudian menjabat sebagai syahbandar atau panglima pangkalan perdagangan terpenting di Jawa Timur.
Han Bwee Kong (1727-1778) sendiri menjadi tokoh terkemuka Tionghoa di Indonesia. Beliau adalah anggota pertama dari keluarga Han van Lasem yang memegang jabatan pemerintah resmi, yaitu Kapten di Surabaya. Han Bwee Kong menikahi putri seorang pemimpin Tionghoa terkemuka di Surabaya bernama Tan Ciguan (1730-1778) pada 1748. Berkat dukungan dari keluarga istrinya, diduga Han Bwee Kong bisa diangkat menjadi Kapitan China yang memberikan wewenang pemerintah atas masyarakat Tionghoa di Surabaya sebagai bagian dari ‘’Pemerintahan Tidak Langsung’’ dari sistem kolonial Belanda.
Di rumah persembahyangan nenek moyang atau di rumah Abu Han (Jalan Karet, Surabaya) masih tergantung foto Han Bwee Kong dan istrinya Cen Ciguan. Selain Han Tjien Kong atau Soero Pernollo yang pindah kepercayaan, saudara-saudara yang lainnya tetap memeluk agama dan kepercayaan nenek moyang dan tentunya mereka tetap rukun. Nama Han Tjien Kong tidak tertulis di silsilah keluarga Han di rumah Abu karena beliau memiliki silsilah sendiri hingga keturunan dan generasi berikutnya.
Di Pasar Bong, terdapat sebuah makam yang disebut oleh warga setempat, punden Buyut Tonggo. Nama yang tertulis pada makam tersebut adalah Syech Sin Abdurrahman, yang menurut juru kunci makan merupakan orang China yang beragama Islam. Sebelumnya, makam ini terbuat hanya dari kayu dan sesek yang merupakan anyaman dari bambu namun sekarang telah direkonstruksi ulang dengan batu bata yang kokoh.
Makam Syech Sin Abdurrahman terdapat di sebuah bangunan yang ada di lorong sempit dan terlihat seperti makan Islam pada umumnya dengan dua patok nisan yang membujur Utara-Selatan. Pada nisan, tidak ada kesan makan etnis Tionghoa yang berbentuk bong.
Di Pasar Bong, masih terdapat bangunan-bangunan dari era kolonial yang mungkin berasal dari era akhir abad 19 dan awal abad 20. Sudah tidak ada makam-makam China (bong) yang terdapat di Pasar Bong dan hanya menyisakan satu makam yang terjaga yaitu makam Punden Buyut Tonggo alias Syech Sin Abdurrahman. Dugaan kuat bahwa makan Syech Sin Abdurrahman ini merupakan makam keturunan keluarga Han yang sudah memeluk agama Islam.
Dari garis keturunan keluarga Han, khususnya Han Tjien Kong yang beragama Islam atau Soeroe Pernollo, banyak keturunan para priyayi yang menjadi pejabat penting di wilayah pesisir utara Jawa Timur yaitu, Tuban, Gresik, tentunya Surabaya, Bangil, Pasuruan, Probolinggo, Prajekan, Besuki, Panarukan dan Bondowoso dan bahkan berada di wilayah Jember.
Perlu diperjelas lagi, bahwa Han Tjien Kong dan Han Bwee Kong adalah generasi Han ke-22. Kemudian di generasi ke-23 ada Ham Sam Kong atau disebut Baba Sam (1752 – 1833) dan Soemodiwirjo (1772-1776) yang menjadi Ronggo di Besuki. Sementara pada generasi ke-24 ada Soero Adiwidjojo yang menjadi Temenggung di Bangil dan bupati di Tuban. Sedangkan Wiro Adinegoro menjadi Adipati dan bupati di Bangil. Kemudian nama Soerio Adiningrat yang menjadi tumenggung dan bupati di Puger.
Menurut Claudine Solmon (1991), banyak keturunan Han Tjien Kong sampai generasi ke-27 yang masih menempati banyak posisi penting dalam pemerintahan Java di berbagai tempat khususnya wilayah Pantai Utara Jawa dan Timur (Java’s Oosthoek) Dengan sejarah yang panjang, dapat disimpulkan bahwa keturunan dari keluarga marga Han sangat berpengaruh pada sistem pemerintahan di wilayah Jawa Timur terutama di bidang politik dan perdagangan. Kekuasaan keluarga Han di bidang perdagangan di wilayah Jawa Timur menjadikan penghalang bagi Inggris dan Belanda.
Selain itu, dengan pindahnya Han Tjien Kong ke agama Islam dan makam Syech Sin Abdurrahman yang diduga makam Han Tjien Kong inilah yang menjadi cikal bakal penyebaran priyayi Islam di Jawa Timur. Perlu diketahui, saat ini masih ada tokoh ternama yang merupakan generasi ke-14 dari Han Siong Kong yang bernama Han Ay Lie. Beliau masih aktif menjadi Guru Besar di Universitas Diponegoro Semarang dan aktif pada kegiatan lainnya.
Daftar Pustaka:
- Lombard, Salmon Claudine (1991). “The Han Family of East Java. Entrepreneurship and Politics (18th-19th Centuries)”. Archipel (dalam bahasa Inggris). 41: 53–87. doi:10.3406/arch.1991.2711.
- Setyautama, Sam (2008). Tokoh-tokoh etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 78–79. ISBN 9789799101259. Diakses tanggal 16 January 2017.
- Zhuang, Wubin (2011). Chinese Muslims in Indonesia. Singapore: Select Publishing. ISBN 9814022683. Diakses tanggal 22 February 2016.
- https://begandring.com/makam-marga-han-di-pasar-bong-dan-petunjuk-persebaran-priyayi-islam/