Lima tahun lamanya, saya tinggal di tanah Formosa, atau bisa disebut sebagai Taiwan. Tiga tahun menempuh Pendidikan di NCKU (National Cheng Kung University), satu tahun sebagai mahasiswa pertukaran pelajar, dan dua tahun senagai mahasiswa master di jurusan Teknik Sipil atau Civil Engineering. Berbagai pengalaman baru saya rasakan disini. Melakukan experiment setiap harinya, menyusun laporan, menulis paper dan jurnal, sampai akhirnya berhasil melaksanakan final defense saya, dan mendapatkan gelar M.S.
Dua bulan sebelum final defense, saya mencoba melamar pekerjaan di salah satu perusahaan konstruksi tertanama di Taiwan, CTCI Corp. Saat itu hanya iseng semata, karena saya juga belum benar-benar lulus. Setelah apply melalui web, saya pun diundang untuk melakukan wawancara secara online. Takut, bahagia, dan rasa tidak percaya menyelimuti saya. Setelah melakukan wawancara, kemudian saya dinyatakan lolos, dan bisa langsung bekerja setelah mendapat ijazah, saya merasa bersyukur atas kehendak Tuhan yang melancarkan jalan saya.
Setelah lulus dan mulai bekerja, saya pindah ke Taipei berhubung saya bekerja di kantor pusat. Saat itu, hari libur, saya memutuskan untuk mengunjungi Taipei Grand Mosque, masjid terbesar di Taiwan. Entah bagaimana, saya mulai berbincang dengan seorang lelaki Taiwan, yang juga merupakan seorang mualaf. Dia menceritakan perjalanan spiritualnya yang membuat saya cukup terkagum-kagum, berawal dari sebuah mimpi, dan mulai mendalami sejarah islam di Taiwan. Dia mendapati bahwa keluarga bermarga Kuo “郭” di Taiwan, dulunya adalah muslim dari China keturunan Persia, yang kemudian berakulturasi dan memeluk Taoisme sekarang. Hal yang mencolok dari keluarga bermarga Kuo adalah, saat sembahyang, dilarang untuk mempersembahkan daging babi, karena leluhurnya yang dahulu adalah seorang muslim. Setelah dia cerita panjang lebar, kami pun bertukar kontak.
Siapa sangka lelaki yang secara random bertukar cerita kini pun menjadi suami saya, Ia bernama Kuo Yu-Po, nama inggrisnya adalah Robert Kuo. Kami menikah pada 10 Oktober 2023. Perbedaan Bahasa, budaya, dan kebiasaan merupakan hal sering menjadi perdebatan, namun juga menjadi hal yang menyatukan kami. Pada awalnya, orang tua saya sedikit kurang setuju, karena Robert merupakan WNA. Ada rasa takut di benak orang tua saya. Namun, setelah melihat sosok Robert yang benar-benar serius membuat orang tua saya luluh dan mau menerimanya.
Saat imlek pun kami merayakan hari besar bagi kaum tionghoa, imlek 2024 kami rayakan di Indonesia. Kami berusaha memasak makanan khas Taiwan, yaitu hotpot, sebagai salah satu tradisi di Taiwan saat imlek. Namun, karena orang tua saya belum pernah mencoba hotpot seumur hidupnya, mereka masih merasa asing dengan rasanya. Namun, masih mencoba mencicipinya untuk menghargai kami.
Bagi Robert makanan Indonesia, cukup enak di lidahnya, meskipun makanan khas Taiwan baginya yang paling enak hahaha. Kami pun masih saling beradaptasi dengan budaya masing-masing. Seperti saat lebaran tahun ini, kami rayakan di Taiwan, sehingga tidak terlalu special, karena kami harus bekerja selama lebaran. Kami pun melakukan video call dengan orang tua saya di Indonesia, kemudian melakukan sungkeman secara online, yang basic nya adalah saling meminta maaf. Di situ Robert pun bertanya-tanya kenapa harus minta maaf, padahal dia tidak bersalah. Sontak, semua keluarga saya pun tertawa mendengarnya.
Begitulah pengalaman singkat saya tentang kehidupan saya dan pernikahan saya. Kami masih saling beradaptasi dengan budaya masing, dan kami pun juga saling menghargai. Keluarga suami saya semuanya beragama Buddha, dan keluarga saya beragama Islam, namun kami bisa hidup rukun dan saling menghargai, semoga kerukunan beragama pun bisa sering ditemui di Indonesia. Salam toleransi!