Bercerita tentang pengalaman tim Begandring melakukan kunjungan ke makam Abu Han di Surabaya untuk mencari tahu perjalanan kejayaan serta tradisi yang dilakukan saat mengunjungi rumah Abu Han. Kesempatan berkunjung ke Rumah Abu Han didapatkan atas ajakan dari Nanang Purwono yang merupakan seorang jurnalis senior dan sekarang menjadi ketua Begandring Soerabaya.
Berlokasi di Jalan Karet 72, Surabaya, rumah Abu Han menjadi tempat bersejarah yang sudah sangat dikenal sejak dulu oleh warga sekitar. Rumah ini merupakan rumah milik keluarga Han Bwee Koo yang menurut catatan sejarah dibangun pada pertengahan abad ke 18. Han Bwee Koo merupakan salah satu bangsawan dari keluarga Han.
Keluarga Marga Han mempunyai reputasi yang sangat mengesankan di Jawa terutama Jawa Timur. Hal tersebut juga merupakan hasil dari turut serta Han Bwee Kong dan Han Tjien Kong (Soero Pemollo) yang aktif berperan dalam perdagangan dan juga politik pemerintahan pada masa itu. Di duga, perpindahan Han Tjien Kong ke agama Islam juga menjadi cikal bakal penyebaran priyayi Islam di Jawa Timur.
Kembali ke cerita kunjungan, tim Begandring bersama Pak Nanang mengunjungi makam Abu Han dalam rangka perayaan Imlek. Tentunya untuk dapat mengunjungi makan Abu Han diperlukan izin khusus dari Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (DKKOP) Kota Surabaya. Di rumah tersebut, diceritakan bahwa tim Begandring bertemu dengan Pak Robert Han dan keluarga yang sedang bersembayang di sana. Pak Robert merupakan keturunan keluarga Han generasi ke-9.
Pak Robert Han memiliki 2 anak laki-laki yaitu Richard Han dan Hubert Han. Richard Han yang merupakan anak pertama, tidak turut hadir untuk sembayang pada saat kunjungan tersebut. Ada tiga bagian yang terdapat di rumah Abu Han. Bagian pertama merupakan ruang tunggu yang berhias langgam arsitektur Melayu di sisi kanan dan kirinya dan bagian kedua merupakan tempat untuk sembayang dengan gaya hiasan yang sama dengan bagian pertama. Bagian ketiga terdiri dari tiang penyangga bagunan yang didatangkan dari Inggris.
Pada kunjungan tersebut, Pak Robert Han bercerita bagaimana rumah Abu Han ini dipertahankan, karena banyak sekali rumah-rumah tua yang terbengkalai dan berpindah tangan pada masa Orde Baru. Dari kejadian tersebut, ada pihak yang mengiklankan ke media dan karena tidak adanya tanggapan, pihak tersebut berani mendaftarkannya ke balai lelang. Apabila proses persidangan berjalan mulus dan rumah itu dieksekusi, maka rumahnya akan berganti kepemilikan.
Pak Robert pun kaget karena mendapatkan informasi dari temannya bahwa rumah Abu Han juga telah didaftarkan ke balai lelang. Dengan bukti-bukti yang sah dan mupuni, Pak Robert mendatangi balai lelang dan akhirnya rumah tersebut batal didaftarkan di balai lelang. Walaupun memakan biaya yang tidak sedikit untuk perawatan rumah, Pak Robert memilih untuk tetap merawat rumah peninggalan keluarganya tersebut.
Pak Robert menceritakan pengalaman menariknya sebelum menikah, dimana pada saat itu istrinya yaitu Mega Tanuwijaya bertanya siapa yang merawat Rumah Abu Han dan ingin membantu merawat jika diperbolehkan. Dari pernyataan itu, Pak Robert Han terkesima dan menikahlah dengan istrinya ini. Hingga saat ini Pak Robert dan keluarganya masih konsisten untuk merawat Rumah Abu Han dengan luas yang cukup besar yaitu 1.600 meter persegi.
Dari usaha Pak Robert dalam memperjuangkan rumah peninggalan keluarganya inilah, yang menjadikan Rumah Abu Han ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya pada 8 Januari 2013. Saat itu Bu Risma (Tri Rismaharini) masih menjadi walikota Surabaya dan ikut mengunjungi rumah Abu Han. Dari situ, beliau sangat senang melihat rumah ini dan malah mengusulkan untuk membuka kafe di belakangnya, agar masyarakat bisa ikut serta mengenal dan menikmati sejarah dari Rumah Abu Han.
Bu Risma sempat bertanya apa saja keunikan dari Rumah Abu Han ini dan dijelaskan bahwa Rumah Abu Han memiliki hiasan ornament khas dari Eropa, Tiongkok dan juga Jawa. Setelah tim Begandring mengobrol panjang lebar, Pak Robert bercerita kalau pada saat Imlek ada lima makanan yang wajib disajikan yaitu ayam, bebek, babi, bandeng dan kepiting. Selain itu, ada juga kue tok, wajik, lapis legit dan beberapa makanan tradisional lainnya. Untuk buah-buahan ada jeruk, rambutan dan tebu.
Di kunjungan itu, juga diperlihatkan proses pembakaran uang. Pak Robert dan Hubert menyiapkan uang palsu, emas palsu dan pakaian palsu di dalam bejana. Tradisi bakar uang ini sudah dilakukan secara turun-temurun selama ribuan tahun.
Dalam tradisi Tionghoa ini, bakar uang menggunakan uang palsu dipercaya dapat memenuhi kebutuhan anggota keluarganya yang telah meninggal di akhirat. Uang palsu yang dibakar ini bisa membeli kebahagiaan di akhirat dan memastikan leluhur mempunyai banyak uang di dunia akhirat. Selain itu, pembakaran uang juga merupakan bentuk pemujaan terhadap arwah leluhur dimana leluhur memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kekayaan atau nasib baik keturunannya yang masih hidup.
Dikatakan bahwa, Pak Robert Han yang merupakan generasi ke-9 ini belum kenal dan berharap bisa bertemu dengan Han Ay Lie yang merupakan keturunan generasi ke-14 agar nantinya bisa dilacak dari mana. Han Ay Lie merupakan generasi ke-14 dari Han Siong Kong yang bernama Han Ay Lie. Beliau masih aktif menjadi Guru Besar di Universitas Diponegoro Semarang dan aktif pada kegiatan lainnya.